oleh:
Rusman Pattiwael
(Fakultas Hukum Unkhair Ternate)
Masalah pemidanaan merupakan masalah yang selalu mengalami perubahan dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli hukum pidana. Perdebatan yang terjadi adalah seputar pertanyaan mengenai apa yang menjadi tujuan dan manfaat pemidanaan itu (hakikat pemidanaan). Olehnya itu tidak mengherankan jika dalam perkembangannya masalah pemidanaan memiliki paradigma yang selalu berubah, mengikuti perubahan aliran pemikiran yang terjadi dalam beberapa fase penting, yakni aliran klasik – aliran modern – aliran neoklasik. Aliran-aliran tersebutlah yang memunculkan pemikiran-pemikiran baru mengenai hakikat pemidanaan, dan mendasari lahirnya ide dasar sistem sanksi double track system yang merupakan reorientasi dari sistem sanksi single track system.
Secara umum double track system adalah sistem dua jalur mengenai pengenaan sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana disatu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Sanksi pidana (punishment) berorientasi kepada penderitaan dan pencelaan yang dikenakan terhadap pelaku. Sedangkan sanksi tindakan (maatregel, treatment) secara relatif lebih bermuatan pendidikan dan cenderung lebih antisipatif dan bersifat penanggulangan.
Berbeda dengan single track system, double track system yang konsisten menghendaki adanya kesetaraan antara jenis sanksi pidana dengan jenis sanksi tindakan. Double track system tidak memakai satu sepenuhnya di antara keduanya (antara jenis sanksi pidana dengan jenis sanksi tindakan), tapi kedua-duanya memiliki kedudukan yang setara dan seimbang dalam kebijakan pemidanan. Dengan demikian double track system menghendaki agar jenis sanksi pidana dan jenis sanksi tindakan diakomodir secara bersama-sama dalam setiap kebijakan pemidanaan. Inilah esensi yang paling mendasar dari sistem sanksi double track system.
Bila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama Undang-Undang Pidana Khusus atau perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur (double track system) dalam stelsel sanksinya. Yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus.
Sebagai salah satu Undang-Undang Pidana Khusus, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) adalah termasuk perundang-undangan pidana yang mulai ada kecenderungan penggunaan sistem dua jalur (double track system) dalam sistem sanksinya. Namun, bila ditelaah lebih dalam lagi, sistem sanksi yang terdapat pada UU PTPK, ternyata masih sangat dipengaruhi oleh sistem sanksi yang mengarah pada single track system. Dengan demikian nampak bahwa sistem sanksi pada UU PTPK, single track system-nya lebih mendominasi.
Tentunya hal tersebut menimbulkan suatu ketidakkonsistenan menganai konsep sistem pertanggungjawaban pidana pada UU PTPK. Hal tersebut juga menunjukan ketidakjelasan mengenai aliran pemikiran yang melandasi kebijakan perumusan pertanggungjawaban pidananya, serta ketidakjelasan tujuan yang hendak dicapai dari suatu konsep sistem sanksi (sistem pertanggungjawaban pidana). Selain itu juga, sistem sanksi yang demikian dapat diindikasikan bahwa UU PTPK termasuk perundang-undangan pidana khusus yang belum secara konsisten mereformasi sistem pemidanaannya dan juga termasuk perundang-undangan yang tidak memiliki suatu konsep sanksi serta tujuan pemidanaan yang jelas serta terukur.
Perlu diketahui, dalam upaya pemberantasan kejahatan korupsi, ada tiga hal penting yang harus dibuat skala prioritas untuk diperhatikan. Prioritas yang utama dan pertama adalah, penyelamatan kerugian keuangan negara, kedua memberikan penjeraan terhadap pelaku, dan yang ketiga adalah dapat merehabilitasi (memasyarakatkan) pelaku agar menjadi manusia baik (perbaikan moral) dan agar dapat diterima kembali di masyarakat setelah selesai menjalani hukuman. Namun sistem sanksi yang terdapat dalam UU PTPK, tidak menempatkan sanksi yang seharusnya menjadi prioritas utama sebagai bentuk sanksi yang dominan. Tetapi bentuk-betuk sanksi yang demikian (yang seharusnya menjadi prioritas) ditempatkan sebagai sanksi yang komplementer sifatnya. Dengan demikian, hal tersebut menimbulkan suatu kesenjangan antara bentuk sanksi apa yang seharusnya menjadi prioritas dalam sistem sanksi UU PTPK dengan sistem sanksi yang saat ini terdapat dalam UU PTPK.
Untuk memperoleh manfaat dari keberhasilan penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi, maka pengenaan sanksi terhadap pelaku tindank pidana korupsi tidak dapat dilakukan hanya melalui penerapan sanksi yang sifatnya fragmentaristik (yang lebih cenderung hanya menekankan sanksi pidana), dengan landasan sistem sanksi yang tidak konsisten, serta ketidakjelasan mengenai tujuan yang hendak dicapai dari suatu pemidanaan. Tetapi yang dibutuhkan adalah penerapan sanksi yang berasal dari suatu sistem yang baik, terukur serta konsisten menjamin adanya kesetaraan antara sanksi yang sifatnya pidana (reaktif) dan sanksi yang sifatnya tindakan (antisipatif dan bersifat penanggulangan). Di sinilah dibutuhkan fungsi double track system sebagai sistem pemidanaan untuk mengatasi berbagai permasalah penting dalam upaya pemberantasan kejahatan tindak pidana korupsi.
Sebagai imbas dari ketidakjelasan sistem sanksi serta tujuan pemidanaan yang dianut dalam UU PTPK tersebut, maka penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi pun tidak memperlihatkan sebuah arah yang jelas serta terukur mengenai tujuan apa sebenarnya yang hendak dicapai. Apakah ditujukan terhadap penanggulangan kerugian keuangan negara, penjeraan sipelaku, merehabilitasi (memasyarakatkan pelaku), atau ketiganya. Yang kesemuanya itu merupakan tolok ukur mengenai keberhasilan pemidanaan, secara khusus pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Kecenderungan penjatuhan sanksi yang tidak konsisten mengenai arah tujuan yang hendak dicapai akibat dari ketidakjelasan sistem sanksi tersebut, juga terdapat pada beberapa putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di kota Ternate. Hal ini terlihat dari beberapa putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Negeri di Indonesia sama sekali tidak memperlihatkan suatu tujuan yang jelas mengenai apa sebenarnya yang hendak diharapkan/dicapai, apakah untuk menanggulangi kerugian keuangan negara, apakah untuk menjerakan, apakah untuk merehabilitasi (memasyarakatkan) atau ketiganya.